Ekonomi Lesu, Jogja Sang Kota Wisata dan Pelajar Kini Tanpa Ingar-Bingar Wisatawan dan Mahasiswa Perantau

Ekonomi Lesu, Jogja Sang Kota Wisata dan Pelajar Kini Tanpa Ingar-Bingar Wisatawan dan Mahasiswa Perantau

Pada tanggal 2 Maret 2020, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia, Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Berawal dari 2 kasus, kini kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai angka 16.006 kasus per 14 Mei 2020. Hari demi hari, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. Himbauan physical distancing dan penerapan kebijakan PSBB pun terus digalakkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Namun, adanya himbauan physical distancing dan penerapan kebijakan PSBB di beberapa daerah justru berdampak pada kegiatan perekonomian dan pendidikan di Indonesia. Beberapa perusahaan, toko, tempat pariwisata, sekolah dan perguruan tinggi harus ditutup selama pandemi Covid-19. Masyarakat dihimbau untuk membatasi kegiatan diluar rumah serta menjauhi kerumunan dan keramaian. Tentu hal ini membuat aktivitas perkantoran dan sekolah dialihkan ke rumah, sehingga lahirlah istilah Work From Home dan School From Home.

Kota Jogja Tanpa Ingar-Bingar

Adanya pembatasan kegiatan diluar rumah, ternyata membuat sebagian orang ketar-ketir. Seperti yang terjadi di Kota Jogja. Kota yang memiliki julukan Kota Wisata dan Pelajar ini mulai mengalami perubahan drastis selama pandemi Covid-19 menyeruak di Indonesia. Kota Jogja saat ini tidak seramai biasanya. Kota yang selalu dipenuhi para wisatawan dan mahasiswa perantau dari berbagai daerah ini mulai mengalami kesepian. Jogja sang kota wisata dan pelajar kini tanpa ingar-bingar wisatawan dan mahasiswa perantau membuat beberapa pihak dihantui rasa khawatir. Bagaimana nasib pedagang toko oleh-oleh, penjual nasi sayur, dan pelaku industri wisata tanpa wisatawan dan mahasiswa perantau?

Jika dulur-dulur berkeliling melewati Tugu Jogja, Malioboro, 0 Km, Alun-alun Utara sampai Alun-alun Kidul di situasi sekarang ini, dulur-dulur pasti merasakan atmosfer yang berbeda dari tempat-tempat tersebut. Sebelum pandemi Covid-19, tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi biasanya menjadi pusat keramaian dan kerumunan banyak wisatawan bahkan mahasiswa perantau yang pergi jalan-jalan ke sekitar tempat itu untuk mencari hiburan. Tidak hanya wisatawan dan mahasiswa perantau saja yang mempunyai kepentingan di sana, bahkan banyak pedagang kaki lima, pedagang angkringan, pedagang toko oleh-oleh, tukang becak, supir andong dan profesi lainnya memiliki kepentingan di area tersebut. Mereka mengadu nasib di area wisata itu untuk mencari rezeki guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

Adanya pandemi Covid-19 di Kota Jogja, tentu telah menghalangi datangnya wisatawan ke Kota Jogja. Terlebih sudah keluarnya peraturan dari pemerintah untuk masyarakat agar melakukan physical distancing serta pelarangan untuk bepergian ke luar kota. Hal ini mengakibatkan tidak adanya wisatawan yang datang ke Kota Jogja. Malioboro yang biasanya ramai pengunjung, saat ini kondisinya menjadi sepi. Banyak toko-toko yang tutup di area tersebut.

Ekonomi Lesu di Kota Wisata dan Pelajar

Banyaknya tempat wisata dan toko oleh-oleh yang tutup membuat perekonomian di Jogja menjadi kian melesu. Ekonomi lesu di Kota Jogja dipengaruhi oleh tidak adanya wisatawan yang datang berkunjung. Hal ini mengakibatkan tempat wisata dan toko oleh-oleh di Kota Jogja menjadi sepi pengunjung. Selain itu, banyaknya mahasiswa perantau yang pulang kampung membuat warung-warung nasi sayur sekitar kampus dan kos-kosan mahasiswa menjadi sepi pembeli.

Anggota Komisi B DPRD Kota Jogja, Nurcahyo Nugroho (26/4/2020) mengatakan, lumpuhnya sektor pariwisata dan pendidikan sangat berpengaruh pada UMKM dan pekerja informal. Saat ini, beberapa UMKM sudah mulai tutup akibat tidak adanya wisatawan yang datang. Nurcahyo juga menambahkan, warung makan yang dikelola masyarakat pun ikut tutup karena mahasiswa perantau mulai pulang kampung, sehingga pelanggan warung makan menjadi berkurang.

Meskipun demikian, ekonomi lesu di Kota Jogja masih bisa diminimalisir. Sebaiknya, Pemerintah Kota menggandeng UMKM atau pedagang-pedagang kecil yang terdampak Covid-19. Misalnya, pengadaan bantuan sembako dan cathering bisa melibatkan pedagang-pedagang pasar atau penjual warung nasi di Kota Jogja dengan membeli produk dari mereka. Selain itu, pengadaan masker dan APD yang dilakukan Pemerintah Kota juga bisa melibatkan pelaku UMKM yang memiliki passion atau usaha di dunia jahit-menjahit. Dengan demikian, perputaran uang tetap terjadi, sehingga UMKM dan pedagang ini tetap ada pemasukan meskipun di tengah pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, pemberdayaan pada pelaku UMKM dan profesi terdampak lainnya perlu dilakukan dan diperhatikan oleh Pemerintah Kota. Harapannya, masyarakat terdampak ini bisa tetap survive di tengah pandemi Covid-19. Akhirnya, banyak pelaku usaha yang tidak gulung tikar dan usahanya bisa terselamatkan, sehingga mereka tidak kehilangan pemasukan serta bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. (Ayu Restianti)

Pecinta sepak bola yang gemar membaca dan menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.