Hari Raya Idulfitri merupakan perayaan penting bagi umat Muslim di dunia usai menjalankan puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Setelah mampu menundukkan hawa nafsu saat puasa, maka dulur-dulur akan kembali ke fitrah. Maksud dari kembali ke fitrah adalah kembali ke asal penciptaan manusia. Sebab setiap manusia yang terlahir ke dunia adalah insan yang suci tanpa noda.
Manusia yang terlahir ke dunia dalam keadaan suci tanpa beban masalah apa pun dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dari Imam Bukhari. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia dalam keadaan kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.
Idulfitri di Indonesia populer dengan sebutan lebaran. Makna Idulfitri atau lebaran diserap dan diselaraskan dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Masyarakat tumpah ruah mengumandangkan takbir, melaksanakan Salat Id, dan menikmati momen berkumpul bersama keluarga. Momen berkumpul ini digunakan untuk meminta dan sekaligus memberi maaf kepada sesama, karena setiap insan tidak luput dari khilaf atau salah. Jadi, momentum di Hari Raya Idulfitri adalah untuk menyempurnakan hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan membangun hubungan sosial yang baik antar sesama manusia (hablum minannas).
Mudico Ergo Sum
Pentingnya momen lebaran membuat setiap orang yang merantau ingin pulang kampung (mudik) untuk merayakan hari raya bersama keluarga. Mudik begitu penting bagi eksistensi seorang perantau. Selaras dengan pernyataan Descartes, “Cogito Ergo Sum (karena aku berpikir maka aku ada)”, maka pernyataan itu di Indonesia menjadi “Mudico Ergo Sum (karena aku mudik maka aku ada)”. Mudik merupakan tradisi tahunan yang berlangsung masif dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat.
Tradisi mudik adalah momentum di mana dulur-dulur dapat merekonsiliasi beragam keinginan meraih masa depan di negeri rantau dengan kerinduan pada kampung halaman. Keduanya saling bertemu pada satu titik untuk saling menyapa, saling berbagi, bahkan dijadikan sebagai wadah untuk saling mengevaluasi. Mudik juga menjadi ruang publik untuk saling bersimpati dan berempati secara dinamis dan dialektis di kampung halaman. Maka hal unik yang terjadi di setiap lebaran adalah dulur-dulur akan bertemu dengan wajah asing. Hal ini terjadi karena efek jarang bertemu dengan keluarga atau sanak saudara selama di perantauan yang hanya pulang kampung satu tahun sekali, misalnya.
Namun, saat ini, tradisi mudik dan lebaran bersama keluarga di kampung halaman harus ditahan dulu. Wabah Covid-19 yang tengah melanda negeri ini membuat dulur-dulur harus tetap di rumah saja. Larangan mudik juga sudah dikeluarkan oleh pemerintah guna mengurangi penyebaran Covid-19. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Semasa Mudik Idulfitri.
Ironi, meskipun sudah ada payung hukumnya tidak lantas menjadi jelas tentang adanya larangan mudik ini. Masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan atau tidak memahami aturan tersebut dengan tetap melakukan mudik. Masyarakat yang nekat mudik ini pun mendapat sejumlah sanksi untuk mendisiplinkannya, seperti perintah untuk putar balik kembali ke tempat domisilinya.
Pemudik yang nekat ini mempunyai berbagai asalan. Di antaranya seperti telah kehilangan mata pencaharian, kena PHK dari tempat kerja, dan tidak bisa membuka usaha lagi karena mengikuti aturan pemerintah untuk physical distancing. Alasan mereka tetap melakukan mudik tujuannya adalah agar mampu bertahan hidup. Sebab kohesivitas antar masyarakat di kampung dirasa mampu menjadi tumpuan untuk bertahan hidup. Seperti halnya untuk kebutuhan memasak sayur. Jika dulur-dulur berada di kampung halaman, tentu dulur-dulur dapat meminta pepaya muda milik tetangga atau masak daun bayam yang diambil dari kebun sendiri ketika kekurangan uang untuk belanja sayuran.
Lebaran Sebagai Sense of Belonging
Lebaran tahun ini menjadi momen hari raya yang sangat berbeda dari lebaran sebelumnya. Tidak bisa mudik, tidak bisa berkumpul dengan keluarga di kampung, bahkan lesunya ekonomi menjadi masalah yang semakin membebani. Pemerintah dalam hal ini juga sudah mengupayakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat perantau dan masyarakat yang terdampak Covid-19. Berbagai macam bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), sembako, Kartu Pra Kerja dan lain sebagainya sudah sedang didistribusikan oleh pemerintah.
Tetapi, dalam pelaksanaannya terjadi berbagai kasus. Seperti adanya kesalahan input data yang menyebabkan pembagian tidak tepat sasaran. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan, namun karena namanya tidak tercantum dalam data penerima bantuan justru membuat mereka menjadi tidak mendapatkan bantuan. Sebaliknya, orang kaya yang seharusnya tidak masuk dalam data penerima bantuan justru namanya tercantum dan mendapatkan bantuan. Adapula fenomena orang yang sudah meninggal namanya masih tercantum sebagai penerima bantuan. Memang, mengulik berbagai kesalahan dalam pelaksanaan pemberian bantuan pemerintah ini tidak akan ada habisnya.
Dalam keadaan seperti ini, dulur-dulur dapat memaknai lebaran tahun ini serupa dengan puasa Ramadan yang mana menjadi bulan untuk membangkitkan kembali energi ibadah maupun bersosialisasi. Tentu sebagai masyarakat Indonesia yang mempunyai kearifan lokal bergotong-royong, seharusnya hal ini dapat mendorong dulur-dulur untuk saling membantu. Agar keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia di tengah pandemi ini dapat terjamin, dan mengurangi risiko kematian karena kelaparan. Pada dasarnya, pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, dengan catatan semua elemen masyarakat harus turut mendukung dan saling bersinergi. Penting sekali antara pemerintah dan masyarakat saling membantu sehingga sinergisitas ini diharapkan dapat mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Oleb sebab itu, lebaran tahun ini menjadi momen spiritual yang berfungsi membangkitkan sense of belonging melalui solidaritas sosial. (Nasrudin Muzakki)
Tinggalkan Balasan